Monday, November 7, 2011
Khutbah Syeikh Muhammad Fuad Fi EID ADHA
Sunday, November 6, 2011
Saturday, November 5, 2011
Haji Menurut Al-Ghazali
Jika
engkau ingin ziarahmu diterima, pertama-tama laksanakan
perintah-perintah-Nya, kembalikanlah apa-apa yang diperoleh dengan
zhalim, bertaubatlah kepada-Nya dari semua maksiat, dan putuskanlah
keterkaitan hatimu dengan selain Dia, agar engkau menghadap kepada-Nya
dengan wajah hatimu sebagaimana engkau menghadap kepada rumah-Nya dengan
wajah tubuhmu.
Hujjatul Islam Al-Ghazali telah menghabiskan puluhan halaman dari kitabnya, Al-Ihya`, untuk berbicara tentang haji dengan pembicaraan yang panjang lebar yang dipenuhinya dengan uraian dan bahasan secara terperinci.
Ia membagi pembicaraannya menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah amalan-amalan zhahir haji, yang mana ia mengarahkan pembicaraannya kepada kaum muslim secara umum yang tidak dapat mencapai rahasia-rahasia yang dalam dan pembahasan-pembahasan yang terperinci.
Pada bagian kedua, ia berbicara tentang rahasia-rahasia haji, tujuan-tujuannya, dan maksud-maksudnya, yang mana ia menyelami makna-makna yang dalam yang digalinya dari amalan-amalan haji. Dan tampaknya ia menujukan pembicaraannya yang khusus ini kepada orang-orang yang mampu menyelami hal-hal yang mendalam, naik ke cakrawala yang luas, agar dapat menyerap pelajaran-pelajaran dan nasihat-nasihat yang sangat bagus, sehingga bertambahlah hubungan mereka dengan Tuhannya dan bertambah pula pengenalannya tentang hak-Nya terhadap mereka.
Dengan Persiapan yang Baik
Dalam kitab monumentalnya, Ihya’ `Ulumiddin, Imam Al-Ghazali mengisahkan perjalanan seorang alim yang shalih yang sedang menempuh perjalanan haji. Namanya Ali bin Al-Muwaffaq.
Dikisahkan demikian, “Pada suatu malam, tanggal 8 malam 9 Dzulhijjah (malam hari Arafah) ia tertidur di Masjid Al-Khaif Mina. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat sedang berdialog. Malaikat yang satu berbicara kepada malaikat yang lain, “Hai teman, tahukah engkau berapa banyak orang yang pergi haji tahun ini?”
Malaikat yang lain menjawab, “Tidak tahu!”
Kemudian temannya tadi memberi tahu bahwa mereka itu jumlahnya mencapai 600.000 jama’ah.
Kemudian ditanya lagi, “Tahukah kamu berapa orang di antara mereka itu yang meraih haji mabrur?”
“Tidak tahu!” jawab temannya.
Kemudian temannya itu menjelaskan bahwa yang meraih haji mabrur hanya enam orang.
Sampai dialog ini, dua malaikat itu pun pergi.
Setelah itu Ali bin Al-Muwaffaq pun terbangun dari tidurnya dengan penuh penasaran, sedih, dan gelisah. Dalam hatinya ia bertanya, “Jika hanya enam orang yang diterima hajinya dari 600.000 jama’ah, apakah aku bisa masuk yang enam orang itu?”
Demikianlah ia terus-menerus merenungkan dan berusaha mencari tahu makna di balik mimpinya itu. Selanjutnya ia berusaha melakukan ibadah hajinya dengan sebaik mungkin agar berhasil masuk dalam kelompok enam yang hajinya mabrur tersebut.
Kisah ini tidak diketahui kapan terjadinya dan seberapa jauh kebenarannya. Tetapi yang jelas, Al-Ghazali, yang dikenal sebagai ulama yang amat termasyhur dan mendapat julukan Hujjatul Islam, telah mencatat dalam kitabnya yang amat monumental dan berpengaruh di kalangan orang-orang yang mendalami masalah-masalah spiritualitas.
Sekurang-kurangnya yang dapat diambil hikmah dari kisah tersebut adalah agar setiap orang yang menunaikan ibadah haji selalu menata dan meluruskan niatnya, melakukan ibadah hajinya dengan baik dan benar serta selalu berusaha dan berdoa agar ibadahnya diterima oleh Allah SWT. Ya, seorang yang akan menunaikan ibadah haji seharusnya melakukan persiapan lahir dan bathin dengan sebenar-benarnya. Karena, perjalanan haji bukanlah perjalanan wisata, melainkan ibadah multidimensi dalam arti sesungguhnya.
Dalam kitab monumentalnya itu, Al-Ghazali memang secara khusus berbicara panjang lebar tentang ibadah yang istimewa ini. Ia memulai bahasannya tentang haji dengan pembukaan yang bersajak yang menyerupai mukadimah khutbah mimbar. Dalam khutbahnya, ia mengatakan, “Segala puji bagi Allah, Yang telah menjadikan kalimat tauhid sebagai tempat berlindung dan benteng untuk hemba-Nya, menjadikan Bait Al-`Atiq sebagai tempat yang aman untuk pertemuan (berkumpulnya) manusia, memuliakannya dengan menisbahkannya kepada diri-Nya dengan suatu kemuliaan, penjagaan, dan keamanan. Allah menjadikan ziarah ke tempat itu dan thawaf di sana sebagai penghalang antara seorang hamba dan siksa. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, nabi pembawa rahmat dan pemimpin umat. Begitu juga kepada keluarganya dan sekalian sahabatnya sebagai pemimpin-pemimpin kebenaran dan pemuka manusia.”
Setelah mengawalinya dengan pembukaan yang indah, Al-Ghazali pun mulai memasuki pembahasannya yang terperinci dan mendalam tentang ibadah yang sangat istimewa ini.
Allah berfirman dalam surah Al-Hajj, yang artinya, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Al-Hajj: 27). Sedangkan Rasulullah SAW bersabda, “Haji mabrur itu lebih baik daripada dunia dan isinya, dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.”
Pusat pelaksanaan ibadah haji berlangsung di kota Makkah, kota paling suci di muka bumi. Ia negeri Allah yang mulia dan tempat diutusnya Nabi-Nya SAW. Betapa sangat mulia dan terhormatnya Makkah, sehingga tidak ada suatu negeri pun di mana seseorang akan dihukum walaupun baru berniat (berbuat jahat) dan belum melakukannya kecuali Makkah. Allah SWT mengatakan dalam surah Al-Hajj, yang artinya, “Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (QS Al-Hajj: 25). Jadi, orang itu akan dihukum di sini dengan berniat jahat saja.
Rasulullah SAW juga berkata yang ditujukan kepada Makkah, “Sesungguhnya engkau bumi Allah terbaik dan negeri Allah yang paling aku cintai.”
Setelah Makkah, yang paling mulia adalah Madinah. Mengenai masjidnya di kota ini, Rasulullah bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di tempat lain kecuali di Masjid Haram.”
Mengenai pelaksanaan haji itu sendiri, walaupun Al-Ghazali berpendapat bahwa pelaksanaan haji dapat ditunda beberapa waktu (tidak harus segera), ia mengatakan, “Barang siapa memiliki kemampuan, ia wajib menunaikan haji. Dan ia dapat menundanya, tetapi hal ini mengandung bahaya. Apabila ia memiliki kemudahan walaupun di akhir umurnya (dan ia tidak menunaikan haji), ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan sebagai seorang yang bermaksiat karena meninggalkan haji. Jika ada peninggalannya, ia harus dihajikan dengannya sekalipun ia tidak mewasiatkannya, sebagaimana utang-utangnya yang lain.
Seandainya seseorang memiliki kemampuan di dalam suatu tahun tetapi ia tidak berangkat bersama orang-orang dan kemudian hartanya itu binasa pada tahun itu juga sebelum orang-orang itu menunaikan haji (yakni, mereka masih dalam perjalanan), kemudian ia mati, ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki kewajiban haji atasnya. Barang siapa mati dan belum menunaikan haji padahal memiliki kemudahan, hal itu sangat berat di sisi Allah.
Umar RA pernah mengatakan, ‘Aku ingin menulis surat kepada negeri-negeri agar dikenakan pajak terhadap orang yang memiliki kemampuan tetapi tidak menunaikan haji.’ Dari Sa`id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha`i, Mujahid, dan Thawus, dikatakan, ‘Barang siapa mati dalam keadaan belum membayarkan zakat dan belum menunaikan haji, ia minta dikembalikan ke dunia dan ia membaca firman Allah, yang artinya: Ya Allah, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan’.” (QS Al-Mu`minun: 99-100).
Harap-harap Cemas
Rukun-rukun haji itu ada lima, yaitu ihram, wuquf, thawaf, sa`i, dan bercukur. Sedangkan yang diharamkan dilakukan ketika berhaji adalah memakai pakaian yang berjahit, memakai wangi-wangian, mencukur rambut atau mengguntingnya, melakukan hubungan suami-istri dan pendahuluan-pendahuluannya, serta membunuh buruan darat yang dapat dimakan.
Amalan-amalan haji yang bersifat zhahir sebagaimana pendapat Hujjatul Islam Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
Pertama, memulai maksud menunaikan haji dengan bertaubat, membayar utang-utang, mengembalikan barang-barang yang didapat dengan berbuat zhalim kepada pemiliknya, mengembalikan titipan-titipan dan amanah-amanah kepada yang berhak, dan menyiapkan nafkah bagi orang-orang yang wajib ia nafkahi selama ia melakukan perjalanan sampai ia kembali kepada mereka.
Kedua, mengambil teman yang baik dalam perjalanannya, yang membantunya untuk melakukan kebaikan dan mengingatkannya akan sesuatu yang membuat Allah menjadi ridha.
Ketiga, ketika akan berangkat dari rumahnya, hendaknya ia berdoa kepada Allah dengan ikhlas seperti membaca doa-doa yang biasa dibaca saat akan melakukan perjalanan kemana saja.
Keempat, berniat ihram dan memulai talbiyah dengan mengucapkan Labbaik, Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal-hamda wan-ni`mata laka wal-mulk, la syarika lak.
Betapa dalam makna falsafah ihram dan makna talbiyah. Mengenai hal ini Al-Ghazali menuturkan, “Ihram dan talbiyah dari miqat, maknanya adalah memenuhi panggilan Allah. Karena itu, berharaplah agar ia diterima dan takutlah apabila dikatakan kepadamu, ‘Engkau tidak memenuhi panggilan dan engkau tidak memperoleh kebahagiaan.’ Jadilah engkau senantiasa berada di antara harapan dan rasa takut (harap-harap cemas), berlepas dirilah dari sekelilingmu dan kekuatanmu, dan berpeganglah kepada anugerah dan kemurahan Allah. Sesungguhnya waktu talbiyah merupakan awal dari ibadah ini dan tempat talbiyah itu merupakan tempat yang penting.”
Sufyan bin Uyainah mengisahkan, “Suatu ketika Ali bin Al-Husain menunaikan haji. Ketika ia berihram dan menaiki untanya, menjadi menguning tubuhnya. Ia pun menggigil, gemetar, dan tidak dapat bertalbiyah. Lalu ia ditanya, ‘Mengapa engkau tidak bertalbiyah?’
Ia menjawab, ‘Aku takut akan dikatakan kepadaku: Engkau tidak memenuhi panggilan dan engkau tidak memperoleh kebahagiaan.’
Ketika bertalbiyah, ia pingsan dan jatuh dari untanya. Hal itu terus menimpanya sampai ia menyelesaikan hajinya.”
Ahmad bin Abi Al-Hawari berkata, “Aku bersama dengan Abu Sulaiman Ad-Darani ketika ia hendak berihram. Ia tidak bertalbiyah sampai kami berjalan sejauh satu mil. Kemudian ia pingsan, lalu tersadar. Setelah itu ia berkata, ‘Wahai Ahmad, telah sampai keterangan kapadaku bahwa barang siapa berhaji dengan harta yang tidak halal kemudian ia bertalbiyah, Allah akan berkata kepadanya: Tidak ada talbiyah bagimu, tidak ada kebahagiaan bagimu sampai engkau mengembalikan apa yang berada di tanganmu.’ Maka jangan sampai dikatakan demikian kepada kita.”
Ya, semakin manusia mencapai puncak keimanannya kepada maqam yang sangat tinggi, semakin ia merasa takut kepada Allah SWT. Dan sebaliknya, semakin rendah kedudukan manusia, semakin tidak punya rasa takut kepada Allah SWT. Karena itu, kita melihat bagaimana Rasulullah SAW setiap harinya senantiasa beristighfar puluhan kali bahkan ratusan kali kepada Allah SWT.
Ketika mengangkat suaranya dengan membaca talbiyah di miqat, hendaknya seseorang ingat bahwa ia memenuhi seruan Allah, karena Dia mengatakan, yang artinya, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji.” (QS Al-Haj: 27). Hendaknya ia juga mengingat bagaimana manusia diseru dengan ditiupkannya terompet, dibangkitkannya mereka di kubur-kubur mereka, dan berdesak-desakannya mereka di hari Kiamat memenuhi seruan Allah. Mereka terbagi menjadi orang-orang yang didekatkan dan orang-orang yang ditolak.
Mereka pada awalnya harap-harap cemas, antara takut dan berharap, seperti harap-harap cemasnya orang yang sedang berhaji di miqat, yang mana ia tidak tahu apakah mudah bagi mereka untuk menyempurnakan haji ataukah tidak, apakah hajinya diterima atau tidak.
Rukun selanjutnya adalah thawaf di sekeliling Ka`bah. Thawaf ini seperti shalat, tetapi di dalam thawaf kita dibolehkan berbicara. Thawaf dilakukan tujuh kali putaran, dimulai dari Hajar Aswad dan berakhir di sana pula. Kemudian melakukan sa`i di antara Shafa dan Marwah tujuh kali balik.
Rukun lainnya adalah wuquf di Arafah. Inilah rukun haji yang terpenting. Dalam sebuah hadits dikatakan, “Haji itu adalah wuquf di Arafah.” Pada saat wuquf di Arafah ini sepatutnya setiap orang banyak berdoa.
Setelah itu bermalam di Muzdalifah pada malam nahar (malam Hari Raya), dilanjutkan dengan melontar jumrah di Mina. Kemudian melakukan thawaf ifadhah, yang dinamakan juga thawaf ziarah.
Seseorang dapat melakukan umrah sesudah melakukan haji atau sebelumnya.
Yang juga tak dapat dipisahkan dari pelaksanaan ibadah haji adalah menziarahi Madinatur Rasul. Sebuah hadits mengatakan, “Barang siapa datang mengunjungiku dan tujuannya hanya untuk mengunjungiku, menjadi hak Allah bahwa aku menjadi pemberi syafa’at baginya.”
Setelah itu menikmati shalat di Raudhah (taman), yang suci. Tentang Raudhah, Rasulullah mengatakan, “Di antara kuburku dan mimbarku terdapat taman dari taman-taman surga, dan mimbarku berada di atas telaga.”
Adab Berhaji
Mengenai adab yang harus diperhatikan seorang yang menunaikan haji, Al-Ghazali menuturkan:
Di antara adab yang paling penting dalam perjalanan ini adalah seseorang mengkhususkan dirinya untuk melakukan haji dan memutuskan segala hubungannya dengan dunia. Itu dilakukan dengan melakukan taubat yang murni semata-mata karena Alah dari semua perbuatan maksiat dan kezhaliman. Karena, setiap kezhaliman itu merupakan pengait dan setiap pengait itu seperti musuh yang memberikan pinjaman dan ia akan mengait ke arah seseorang dan akan berkata, “Ke mana engkau menghadap, wahai Fulan? Apakah engkau menuju ke Rumah Allah, Raja dari segala raja, sedangkan engkau menyia-nyiakan perintah-Nya di rumahmu dan mengabaikan-Nya? Tidakkah engkau malu bahwa engkau datang kepada-Nya sebagaimana datangnya seorang hamba yang suka bermaksiat, lalu Dia akan menolakmu dan tidak menerimamu?
Jika engkau ingin ziarahmu diterima, pertama-tama laksanakan perintah-perintah-Nya, kembalikanlah apa-apa yang diperoleh dengan zhalim, bertaubatlah kepada-Nya dari semua maksiat, dan putuskanlah keterkaitan hatimu dengan selain Dia, agar engkau menghadap kepada-Nya dengan wajah hatimu sebagaimana engkau menghadap kepada rumah-Nya dengan wajah tubuhmu.
Jika engkau tidak melakukan itu, engkau tidak mendapatkan apa-apa dari perjalananmu kecuali kelelahan dan kesengsaraan, lalu pencampakan dan penolakan.
Apabila seorang yang menunaikan haji membeli dua pakaian ihram, hendaklah ketika itu ia ingat akan kain kafan dan ingat pula bahwa ia akan dibungkus dengannya. Sesungguhnya ia akan mengenakan dua pakaian ihram ketika dekat dengan Baitullah dan barangkali belum sempat menyempurnakan perjalanannya kepada-Nya tiba-tiba ia sudah harus menjumpai Allah dalam keadaan dibungkus dengan kain kafan. Sebagaimanan ia tidak menjumpai rumah Allah kecuali dalam keadaan berbeda dengan kebiasaannya dalam berpakaian, maka ia juga tidak menjumpai Allah setelah mati melainkan dengan pakaian yang berbeda dengan pakaian dunia. Pakaian ihram ini mirip dengan pakaian untuk kafan, yaitu tidak ada jahitannya.
Di antara kedalaman-kedalaman ibadah haji adalah bahwa ketika seseorang berangkat dari negerinya hendaknya ia berpisah dengan keluarganya dan tanah airnya dalam rangka menghadap Allah dalam suatu perjalanan yang tidak sama dengan perjalanan-perjalanan dunia. Hendaknya ia hadirkan di dalam hatinya apa yang ia inginkan: Ke mana ia menghadap dan siapa yang ditujunya.
Hendaknya ia menyadari bahwa ia menghadap kepada Pemelihara dari segala pemelihara dalam rombongan orang-orang yang diseru lalu mereka memenuhinya, memutuskan segala hubungan, berpisah dengan orang-orang, dan mendatangi Baitullah, yang Allah agungkan dan tinggikan kedudukannya, sampai ia memberikan kepada mereka puncak cita-cita mereka dan mereka berbahagia dengan memandang kepada Pelindung mereka.
Hendaklah ia hadirkan di dalam hatinya harapan akan sampainya dan diterimanya amalnya, tidak tertipu dengan amal-amalnya, tidak merasa mulia dengan keberangkatanya, dan tidak merasa bangga dengan meninggalkan keluarganya dan hartanya. Melainkan percaya dengan anugerah Allah SWT dan berharap Dia mewujudkan janji-Nya bagi orang yang menziarahi Rumah-Nya, dan berharap, apabila ia tidak sampai ke rumah dan menemui ajalnya di dalam perjalanan, ia akan berjumpa dengan Allah sebagai orang yang mendatangi-Nya, sebagaimana yang Allah katakan dalam surah An-Nisa`, yang artinya, “Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa’: 100).
Filosofi Haji
Al-Ghazali menjelaskan falsafah dari masuknya orang yang menunaikan haji ke Makkah. Di sini kecenderungan harapan dalam jiwa seseorang lebih menonjol dibandingkan kecenderungan rasa takutnya. Ketika seseorang memasuki Makkah untuk menunaikan haji, hendaknya ia ingat bahwa ia telah sampai ke Tanah Haram dengan aman. Di saat itu hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah. Hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah. Namun hendaknya juga ia merasa takut apabila ia tidak mendapatkan kedekatan dengan Allah yang membuat masuknya ia ke Tanah Haram menjadi sia-sia dan mendapatkan murka.
Hendaknya harapannya ada di sepanjang waktu. Kemurahan Allah itu merata, Tuhan itu Maha Penyayang, kemuliaan Baitullah itu sungguh besar, hak orang yang berziarah itu dijaga, dan orang yang meminta pertolongan dan perlindungan itu tidak akan disia-siakan.
Apabila pandangan seseorang tertuju kepada Ka`bah, hal itu akan menghadirkan keagungan Baitulah di dalam hatinya. Al-Ghazali berkata kepada orang yang memandangnya, “Berharaplah agar Allah memberikan rizqi kepadamu dapat melihat wajah-Nya yang mulia sebagaimana Dia telah memberi rizqi kepadamu dapat memandang Rumah-Nya yang agung. Bersyukurlah kepada-Nya karena Dia menyampaikanmu pada kedudukan ini dan menggabungkanmu dalam kelompok orang-orang yang mendatangi-Nya. Di saat itu ingatlah bagaimana manusia digiring pada hari Kiamat menuju surga, yang mana mereka terbagi-bagi ke dalam orang-orang yang diberikan izin untuk memasukinya dan orang-orang yang dipalingkan, sebagaimana terbagi-baginya para jama’ah haji menjadi orang-orang yang diterima dan yang ditolak hajinya. Dan teruslah mengingat perkara-perkara akhirat dalam segala yang dilihat, karena segala hal ihwal haji menunjukkan hal ihwal akhirat.
Kemudian ketika melaksanakan thawaf di Baitullah, hendaknya ingat bahwa thawaf adalah seperti shalat, sehingga hadirkanlah dalam qalbu keagungan Allah, rasa takut dan rasa harap kepada-Nya, dan seluruh perasaan cinta kepada-Nya. Dengan melaksanakan thawaf, jama’ah haji mirip para malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah dan mengelilingi seputar arasy.
Janganlah berpandangan bahwa thawaf adalah semata-mata mengelilingi Ka`bah dengan tubuh, melainkan thawaf juga dengan qalbu dan senantiasa ingat kepada Allah. Dengan demikian, kita memulai berpikir dan mengakhirinya karena Allah.
Ketika mencium Hajar Aswad, hendaknya yakin sedang menjalin sumpah kesetiaan dengan Allah dan akan mematuhi-Nya.”
Manakala kita telah rampung melaksanakan thawaf dan kemudian menuju Bukit Safa untuk melaksanakan sa`i, Al-Ghazali berpesan, “Laksanakanlah sa`i laksana bolak-baliknya seorang hamba di halaman istana seorang raja. Hamba itu datang dan pergi berkali-kali untuk menyatakan ketulusan pengabdiannya dan mendambakan perhatian dengan pandangan kasih sayang, laksana orang yang masuk dan keluar dalam menghadap seorang raja. Sedangkan ia tidak tahu apa yang akan ditetapkan sang raja terhadap dirinya, yakni diterimakah atau ditolak. Kalau gagal pada kali pertama, ia berharap meraih kasih sayang pada kali kedua.”
Al-Ghazali terus memberikan penjelasan filosofisnya yang mendalam dalam menggambarkan amalan-amalan zhahir haji, agar para jama’ah haji memiliki kedalaman-kedalaman dan rahasia-rahasia bathin, sebagaimana kita melihat hal itu dalam pembicaraannya tentang melontar jumrah. Ia mengatakan: Adapun mengenai melontar jumrah, maksudkanlah dengannya untuk patuh kepada perintah dan menunjukkan penghambaan dan perjalanan kita semata-mata karena menjalankan perintah. Kemudian tujukanlah dengannya mengikuti Nabi Ibrahim ketika dibujuk oleh iblis di tempat itu untuk melakukan maksiat lalu Allah menyuruhnya agar melemparnya dengan batu untuk mengusirnya dan memutuskan harapannya.
Seandainya terlintas pada benakmu bahwa setan membujuknya (Nabi Ibrahim) dan ia menyaksikannya sehingga ia pantas melemparnya sedangkan engkau tidak dibujuk oleh setan, ketahuilah bahwa pikiran ini berasal dari setan dan ia yang memasukkan di dalam hatimu untuk melemahkan niatmu dalam melontar dan membisikkan kepadamu bahwa itu suatu perbuatan yang tidak ada manfaatnya dan bahwa itu seperti permainan sehingga engkau tidak perlu menyibukkan diri dengannya, usirlah dia dari dirimu dengan sungguh-sungguh dan dengan sigap dalam melontarnya. Ketahuilah, pada lahirnya engkau melontar batu-batuan ke Aqabah, padahal pada hakikatnya engkau melontar dengan batu-batuan itu wajah setan dan menghancurkannya. Jadi, ia tidak dapat dikalahkan kecuali engkau melaksanakan perintah Allah sebagai pengagungan kepada-Nya dengan semata-mata mematuhi perintah-Nya tanpa memikirkan diri sendiri dan akal.
Apabila seseorang yang menunaikan haji mengunjungi kota Rasul, hendaklah ketika melihatnya ia ingat bahwa itulah kota yang Allah pilih untuk Nabi-Nya, yang Dia jadikan sebagai tempat hijrah beliau. Di sana beliau berjuang menghadapi musuhnya dan menampakkan agamanya sampai beliau wafat menghadap Allah. Kemudian Dia menjadikan jasadnya berada di sana. Begitu juga dengan jasad dua orang pembantunya yang menjalankan kebenaran, Abu Bakar dan Umar.
Hendaknya seorang yang berhaji membayangkankan dalam dirinya tempat-tempat pijakan kaki Rasulullah ketika berjalan di sana. Tidakkah setiap pijakan kaki melainkan merupakan tempat pijakan-pijakan kaki beliau yang mulia, sehingga seorang yang berhaji tidak meletakkan kakinya melainkan dengan tenang dan dengan khawatir, serta ingat bagaimana berjalannya Rasulullah dan ketenangannya dalam berjalan, juga mengingat bagaimana Allah memasukkan di dalam hati beliau ma’rifat yang agung kepada-Nya dan meninggikan sebutannya sehingga Dia menyertakannya dengan sebutan terhadap diri-Nya, dan bagaimana Allah akan memberikan hukuman kepada orang yang mencederai kehormatannya walaupun sekadar meninggikan suaranya di atas suara beliau. Hendaknya ia juga mengingat bagaimana Allah menggembirakan orang-orang yang menjadi sahabat beliau dengannya dan mereka berbahagia dapat menyaksikan beliau dan mendengar perkataannya.
Hendaknya ia merasa menyesal karena tidak dapat bersahabat dengan Rasulullah dan para sahabatnya. Hendaknya ia mengingat bahwa, setelah ia tidak dapat melihatnya di dunia, kesempatan untuk melihatnya di akhirat pun masih mengkhawatirkan (belum dapat dipastikan). Karena, buruknya amal seseorang dapat menghalanginya untuk berjumpa dengannya sebagaimana yang beliau katakan, “Allah mengangkat kepadaku beberapa kaum, lalu mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, wahai Muhammad.’
Lalu aku berkata, ‘Wahai Tuhan, mereka para sahabatku.’
Tuhan berkata, ‘Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan setelah engkau tiada.’
Maka aku katakan, ‘Menjauhlah mereka dariku’.”
Seandainya engkau tinggalkan kehormatan syari’atnya walau hanya semenit, janganlah engkau merasa aman bahwa engkau tak akan terhalang dari beliau karena penyimpanganmu dari jalannya. Walaupun demikian, besarkanlah harapanmu bahwa Allah tidak akan menghalangi antara engkau dan beliau setelah ia memberikan rizqi keimanan kepadamu dan memberangkatkanmu dari tanah airmu untuk menziarahi beliau tanpa niat untuk berdagang dan tanpa mengharapkan bagian dunia, melainkan semata-mata karena kecintaanmu kepada beliau dan kerinduanmu untuk melihat peninggalan-peninggalannya dan dinding makamnya. Apabila engkau menyerahkan dirimu dalam perjalanan semata-mata untuk itu, wajarlah jika Allah memandangmu dengan pandangan kasih sayang.
Hujjatul Islam Al-Ghazali telah menghabiskan puluhan halaman dari kitabnya, Al-Ihya`, untuk berbicara tentang haji dengan pembicaraan yang panjang lebar yang dipenuhinya dengan uraian dan bahasan secara terperinci.
Ia membagi pembicaraannya menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah amalan-amalan zhahir haji, yang mana ia mengarahkan pembicaraannya kepada kaum muslim secara umum yang tidak dapat mencapai rahasia-rahasia yang dalam dan pembahasan-pembahasan yang terperinci.
Pada bagian kedua, ia berbicara tentang rahasia-rahasia haji, tujuan-tujuannya, dan maksud-maksudnya, yang mana ia menyelami makna-makna yang dalam yang digalinya dari amalan-amalan haji. Dan tampaknya ia menujukan pembicaraannya yang khusus ini kepada orang-orang yang mampu menyelami hal-hal yang mendalam, naik ke cakrawala yang luas, agar dapat menyerap pelajaran-pelajaran dan nasihat-nasihat yang sangat bagus, sehingga bertambahlah hubungan mereka dengan Tuhannya dan bertambah pula pengenalannya tentang hak-Nya terhadap mereka.
Dengan Persiapan yang Baik
Dalam kitab monumentalnya, Ihya’ `Ulumiddin, Imam Al-Ghazali mengisahkan perjalanan seorang alim yang shalih yang sedang menempuh perjalanan haji. Namanya Ali bin Al-Muwaffaq.
Dikisahkan demikian, “Pada suatu malam, tanggal 8 malam 9 Dzulhijjah (malam hari Arafah) ia tertidur di Masjid Al-Khaif Mina. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat sedang berdialog. Malaikat yang satu berbicara kepada malaikat yang lain, “Hai teman, tahukah engkau berapa banyak orang yang pergi haji tahun ini?”
Malaikat yang lain menjawab, “Tidak tahu!”
Kemudian temannya tadi memberi tahu bahwa mereka itu jumlahnya mencapai 600.000 jama’ah.
Kemudian ditanya lagi, “Tahukah kamu berapa orang di antara mereka itu yang meraih haji mabrur?”
“Tidak tahu!” jawab temannya.
Kemudian temannya itu menjelaskan bahwa yang meraih haji mabrur hanya enam orang.
Sampai dialog ini, dua malaikat itu pun pergi.
Setelah itu Ali bin Al-Muwaffaq pun terbangun dari tidurnya dengan penuh penasaran, sedih, dan gelisah. Dalam hatinya ia bertanya, “Jika hanya enam orang yang diterima hajinya dari 600.000 jama’ah, apakah aku bisa masuk yang enam orang itu?”
Demikianlah ia terus-menerus merenungkan dan berusaha mencari tahu makna di balik mimpinya itu. Selanjutnya ia berusaha melakukan ibadah hajinya dengan sebaik mungkin agar berhasil masuk dalam kelompok enam yang hajinya mabrur tersebut.
Kisah ini tidak diketahui kapan terjadinya dan seberapa jauh kebenarannya. Tetapi yang jelas, Al-Ghazali, yang dikenal sebagai ulama yang amat termasyhur dan mendapat julukan Hujjatul Islam, telah mencatat dalam kitabnya yang amat monumental dan berpengaruh di kalangan orang-orang yang mendalami masalah-masalah spiritualitas.
Sekurang-kurangnya yang dapat diambil hikmah dari kisah tersebut adalah agar setiap orang yang menunaikan ibadah haji selalu menata dan meluruskan niatnya, melakukan ibadah hajinya dengan baik dan benar serta selalu berusaha dan berdoa agar ibadahnya diterima oleh Allah SWT. Ya, seorang yang akan menunaikan ibadah haji seharusnya melakukan persiapan lahir dan bathin dengan sebenar-benarnya. Karena, perjalanan haji bukanlah perjalanan wisata, melainkan ibadah multidimensi dalam arti sesungguhnya.
Dalam kitab monumentalnya itu, Al-Ghazali memang secara khusus berbicara panjang lebar tentang ibadah yang istimewa ini. Ia memulai bahasannya tentang haji dengan pembukaan yang bersajak yang menyerupai mukadimah khutbah mimbar. Dalam khutbahnya, ia mengatakan, “Segala puji bagi Allah, Yang telah menjadikan kalimat tauhid sebagai tempat berlindung dan benteng untuk hemba-Nya, menjadikan Bait Al-`Atiq sebagai tempat yang aman untuk pertemuan (berkumpulnya) manusia, memuliakannya dengan menisbahkannya kepada diri-Nya dengan suatu kemuliaan, penjagaan, dan keamanan. Allah menjadikan ziarah ke tempat itu dan thawaf di sana sebagai penghalang antara seorang hamba dan siksa. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, nabi pembawa rahmat dan pemimpin umat. Begitu juga kepada keluarganya dan sekalian sahabatnya sebagai pemimpin-pemimpin kebenaran dan pemuka manusia.”
Setelah mengawalinya dengan pembukaan yang indah, Al-Ghazali pun mulai memasuki pembahasannya yang terperinci dan mendalam tentang ibadah yang sangat istimewa ini.
Allah berfirman dalam surah Al-Hajj, yang artinya, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Al-Hajj: 27). Sedangkan Rasulullah SAW bersabda, “Haji mabrur itu lebih baik daripada dunia dan isinya, dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.”
Pusat pelaksanaan ibadah haji berlangsung di kota Makkah, kota paling suci di muka bumi. Ia negeri Allah yang mulia dan tempat diutusnya Nabi-Nya SAW. Betapa sangat mulia dan terhormatnya Makkah, sehingga tidak ada suatu negeri pun di mana seseorang akan dihukum walaupun baru berniat (berbuat jahat) dan belum melakukannya kecuali Makkah. Allah SWT mengatakan dalam surah Al-Hajj, yang artinya, “Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (QS Al-Hajj: 25). Jadi, orang itu akan dihukum di sini dengan berniat jahat saja.
Rasulullah SAW juga berkata yang ditujukan kepada Makkah, “Sesungguhnya engkau bumi Allah terbaik dan negeri Allah yang paling aku cintai.”
Setelah Makkah, yang paling mulia adalah Madinah. Mengenai masjidnya di kota ini, Rasulullah bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di tempat lain kecuali di Masjid Haram.”
Mengenai pelaksanaan haji itu sendiri, walaupun Al-Ghazali berpendapat bahwa pelaksanaan haji dapat ditunda beberapa waktu (tidak harus segera), ia mengatakan, “Barang siapa memiliki kemampuan, ia wajib menunaikan haji. Dan ia dapat menundanya, tetapi hal ini mengandung bahaya. Apabila ia memiliki kemudahan walaupun di akhir umurnya (dan ia tidak menunaikan haji), ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan sebagai seorang yang bermaksiat karena meninggalkan haji. Jika ada peninggalannya, ia harus dihajikan dengannya sekalipun ia tidak mewasiatkannya, sebagaimana utang-utangnya yang lain.
Seandainya seseorang memiliki kemampuan di dalam suatu tahun tetapi ia tidak berangkat bersama orang-orang dan kemudian hartanya itu binasa pada tahun itu juga sebelum orang-orang itu menunaikan haji (yakni, mereka masih dalam perjalanan), kemudian ia mati, ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki kewajiban haji atasnya. Barang siapa mati dan belum menunaikan haji padahal memiliki kemudahan, hal itu sangat berat di sisi Allah.
Umar RA pernah mengatakan, ‘Aku ingin menulis surat kepada negeri-negeri agar dikenakan pajak terhadap orang yang memiliki kemampuan tetapi tidak menunaikan haji.’ Dari Sa`id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha`i, Mujahid, dan Thawus, dikatakan, ‘Barang siapa mati dalam keadaan belum membayarkan zakat dan belum menunaikan haji, ia minta dikembalikan ke dunia dan ia membaca firman Allah, yang artinya: Ya Allah, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan’.” (QS Al-Mu`minun: 99-100).
Harap-harap Cemas
Rukun-rukun haji itu ada lima, yaitu ihram, wuquf, thawaf, sa`i, dan bercukur. Sedangkan yang diharamkan dilakukan ketika berhaji adalah memakai pakaian yang berjahit, memakai wangi-wangian, mencukur rambut atau mengguntingnya, melakukan hubungan suami-istri dan pendahuluan-pendahuluannya, serta membunuh buruan darat yang dapat dimakan.
Amalan-amalan haji yang bersifat zhahir sebagaimana pendapat Hujjatul Islam Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
Pertama, memulai maksud menunaikan haji dengan bertaubat, membayar utang-utang, mengembalikan barang-barang yang didapat dengan berbuat zhalim kepada pemiliknya, mengembalikan titipan-titipan dan amanah-amanah kepada yang berhak, dan menyiapkan nafkah bagi orang-orang yang wajib ia nafkahi selama ia melakukan perjalanan sampai ia kembali kepada mereka.
Kedua, mengambil teman yang baik dalam perjalanannya, yang membantunya untuk melakukan kebaikan dan mengingatkannya akan sesuatu yang membuat Allah menjadi ridha.
Ketiga, ketika akan berangkat dari rumahnya, hendaknya ia berdoa kepada Allah dengan ikhlas seperti membaca doa-doa yang biasa dibaca saat akan melakukan perjalanan kemana saja.
Keempat, berniat ihram dan memulai talbiyah dengan mengucapkan Labbaik, Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innal-hamda wan-ni`mata laka wal-mulk, la syarika lak.
Betapa dalam makna falsafah ihram dan makna talbiyah. Mengenai hal ini Al-Ghazali menuturkan, “Ihram dan talbiyah dari miqat, maknanya adalah memenuhi panggilan Allah. Karena itu, berharaplah agar ia diterima dan takutlah apabila dikatakan kepadamu, ‘Engkau tidak memenuhi panggilan dan engkau tidak memperoleh kebahagiaan.’ Jadilah engkau senantiasa berada di antara harapan dan rasa takut (harap-harap cemas), berlepas dirilah dari sekelilingmu dan kekuatanmu, dan berpeganglah kepada anugerah dan kemurahan Allah. Sesungguhnya waktu talbiyah merupakan awal dari ibadah ini dan tempat talbiyah itu merupakan tempat yang penting.”
Sufyan bin Uyainah mengisahkan, “Suatu ketika Ali bin Al-Husain menunaikan haji. Ketika ia berihram dan menaiki untanya, menjadi menguning tubuhnya. Ia pun menggigil, gemetar, dan tidak dapat bertalbiyah. Lalu ia ditanya, ‘Mengapa engkau tidak bertalbiyah?’
Ia menjawab, ‘Aku takut akan dikatakan kepadaku: Engkau tidak memenuhi panggilan dan engkau tidak memperoleh kebahagiaan.’
Ketika bertalbiyah, ia pingsan dan jatuh dari untanya. Hal itu terus menimpanya sampai ia menyelesaikan hajinya.”
Ahmad bin Abi Al-Hawari berkata, “Aku bersama dengan Abu Sulaiman Ad-Darani ketika ia hendak berihram. Ia tidak bertalbiyah sampai kami berjalan sejauh satu mil. Kemudian ia pingsan, lalu tersadar. Setelah itu ia berkata, ‘Wahai Ahmad, telah sampai keterangan kapadaku bahwa barang siapa berhaji dengan harta yang tidak halal kemudian ia bertalbiyah, Allah akan berkata kepadanya: Tidak ada talbiyah bagimu, tidak ada kebahagiaan bagimu sampai engkau mengembalikan apa yang berada di tanganmu.’ Maka jangan sampai dikatakan demikian kepada kita.”
Ya, semakin manusia mencapai puncak keimanannya kepada maqam yang sangat tinggi, semakin ia merasa takut kepada Allah SWT. Dan sebaliknya, semakin rendah kedudukan manusia, semakin tidak punya rasa takut kepada Allah SWT. Karena itu, kita melihat bagaimana Rasulullah SAW setiap harinya senantiasa beristighfar puluhan kali bahkan ratusan kali kepada Allah SWT.
Ketika mengangkat suaranya dengan membaca talbiyah di miqat, hendaknya seseorang ingat bahwa ia memenuhi seruan Allah, karena Dia mengatakan, yang artinya, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji.” (QS Al-Haj: 27). Hendaknya ia juga mengingat bagaimana manusia diseru dengan ditiupkannya terompet, dibangkitkannya mereka di kubur-kubur mereka, dan berdesak-desakannya mereka di hari Kiamat memenuhi seruan Allah. Mereka terbagi menjadi orang-orang yang didekatkan dan orang-orang yang ditolak.
Mereka pada awalnya harap-harap cemas, antara takut dan berharap, seperti harap-harap cemasnya orang yang sedang berhaji di miqat, yang mana ia tidak tahu apakah mudah bagi mereka untuk menyempurnakan haji ataukah tidak, apakah hajinya diterima atau tidak.
Rukun selanjutnya adalah thawaf di sekeliling Ka`bah. Thawaf ini seperti shalat, tetapi di dalam thawaf kita dibolehkan berbicara. Thawaf dilakukan tujuh kali putaran, dimulai dari Hajar Aswad dan berakhir di sana pula. Kemudian melakukan sa`i di antara Shafa dan Marwah tujuh kali balik.
Rukun lainnya adalah wuquf di Arafah. Inilah rukun haji yang terpenting. Dalam sebuah hadits dikatakan, “Haji itu adalah wuquf di Arafah.” Pada saat wuquf di Arafah ini sepatutnya setiap orang banyak berdoa.
Setelah itu bermalam di Muzdalifah pada malam nahar (malam Hari Raya), dilanjutkan dengan melontar jumrah di Mina. Kemudian melakukan thawaf ifadhah, yang dinamakan juga thawaf ziarah.
Seseorang dapat melakukan umrah sesudah melakukan haji atau sebelumnya.
Yang juga tak dapat dipisahkan dari pelaksanaan ibadah haji adalah menziarahi Madinatur Rasul. Sebuah hadits mengatakan, “Barang siapa datang mengunjungiku dan tujuannya hanya untuk mengunjungiku, menjadi hak Allah bahwa aku menjadi pemberi syafa’at baginya.”
Setelah itu menikmati shalat di Raudhah (taman), yang suci. Tentang Raudhah, Rasulullah mengatakan, “Di antara kuburku dan mimbarku terdapat taman dari taman-taman surga, dan mimbarku berada di atas telaga.”
Adab Berhaji
Mengenai adab yang harus diperhatikan seorang yang menunaikan haji, Al-Ghazali menuturkan:
Di antara adab yang paling penting dalam perjalanan ini adalah seseorang mengkhususkan dirinya untuk melakukan haji dan memutuskan segala hubungannya dengan dunia. Itu dilakukan dengan melakukan taubat yang murni semata-mata karena Alah dari semua perbuatan maksiat dan kezhaliman. Karena, setiap kezhaliman itu merupakan pengait dan setiap pengait itu seperti musuh yang memberikan pinjaman dan ia akan mengait ke arah seseorang dan akan berkata, “Ke mana engkau menghadap, wahai Fulan? Apakah engkau menuju ke Rumah Allah, Raja dari segala raja, sedangkan engkau menyia-nyiakan perintah-Nya di rumahmu dan mengabaikan-Nya? Tidakkah engkau malu bahwa engkau datang kepada-Nya sebagaimana datangnya seorang hamba yang suka bermaksiat, lalu Dia akan menolakmu dan tidak menerimamu?
Jika engkau ingin ziarahmu diterima, pertama-tama laksanakan perintah-perintah-Nya, kembalikanlah apa-apa yang diperoleh dengan zhalim, bertaubatlah kepada-Nya dari semua maksiat, dan putuskanlah keterkaitan hatimu dengan selain Dia, agar engkau menghadap kepada-Nya dengan wajah hatimu sebagaimana engkau menghadap kepada rumah-Nya dengan wajah tubuhmu.
Jika engkau tidak melakukan itu, engkau tidak mendapatkan apa-apa dari perjalananmu kecuali kelelahan dan kesengsaraan, lalu pencampakan dan penolakan.
Apabila seorang yang menunaikan haji membeli dua pakaian ihram, hendaklah ketika itu ia ingat akan kain kafan dan ingat pula bahwa ia akan dibungkus dengannya. Sesungguhnya ia akan mengenakan dua pakaian ihram ketika dekat dengan Baitullah dan barangkali belum sempat menyempurnakan perjalanannya kepada-Nya tiba-tiba ia sudah harus menjumpai Allah dalam keadaan dibungkus dengan kain kafan. Sebagaimanan ia tidak menjumpai rumah Allah kecuali dalam keadaan berbeda dengan kebiasaannya dalam berpakaian, maka ia juga tidak menjumpai Allah setelah mati melainkan dengan pakaian yang berbeda dengan pakaian dunia. Pakaian ihram ini mirip dengan pakaian untuk kafan, yaitu tidak ada jahitannya.
Di antara kedalaman-kedalaman ibadah haji adalah bahwa ketika seseorang berangkat dari negerinya hendaknya ia berpisah dengan keluarganya dan tanah airnya dalam rangka menghadap Allah dalam suatu perjalanan yang tidak sama dengan perjalanan-perjalanan dunia. Hendaknya ia hadirkan di dalam hatinya apa yang ia inginkan: Ke mana ia menghadap dan siapa yang ditujunya.
Hendaknya ia menyadari bahwa ia menghadap kepada Pemelihara dari segala pemelihara dalam rombongan orang-orang yang diseru lalu mereka memenuhinya, memutuskan segala hubungan, berpisah dengan orang-orang, dan mendatangi Baitullah, yang Allah agungkan dan tinggikan kedudukannya, sampai ia memberikan kepada mereka puncak cita-cita mereka dan mereka berbahagia dengan memandang kepada Pelindung mereka.
Hendaklah ia hadirkan di dalam hatinya harapan akan sampainya dan diterimanya amalnya, tidak tertipu dengan amal-amalnya, tidak merasa mulia dengan keberangkatanya, dan tidak merasa bangga dengan meninggalkan keluarganya dan hartanya. Melainkan percaya dengan anugerah Allah SWT dan berharap Dia mewujudkan janji-Nya bagi orang yang menziarahi Rumah-Nya, dan berharap, apabila ia tidak sampai ke rumah dan menemui ajalnya di dalam perjalanan, ia akan berjumpa dengan Allah sebagai orang yang mendatangi-Nya, sebagaimana yang Allah katakan dalam surah An-Nisa`, yang artinya, “Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa’: 100).
Filosofi Haji
Al-Ghazali menjelaskan falsafah dari masuknya orang yang menunaikan haji ke Makkah. Di sini kecenderungan harapan dalam jiwa seseorang lebih menonjol dibandingkan kecenderungan rasa takutnya. Ketika seseorang memasuki Makkah untuk menunaikan haji, hendaknya ia ingat bahwa ia telah sampai ke Tanah Haram dengan aman. Di saat itu hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah. Hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah. Namun hendaknya juga ia merasa takut apabila ia tidak mendapatkan kedekatan dengan Allah yang membuat masuknya ia ke Tanah Haram menjadi sia-sia dan mendapatkan murka.
Hendaknya harapannya ada di sepanjang waktu. Kemurahan Allah itu merata, Tuhan itu Maha Penyayang, kemuliaan Baitullah itu sungguh besar, hak orang yang berziarah itu dijaga, dan orang yang meminta pertolongan dan perlindungan itu tidak akan disia-siakan.
Apabila pandangan seseorang tertuju kepada Ka`bah, hal itu akan menghadirkan keagungan Baitulah di dalam hatinya. Al-Ghazali berkata kepada orang yang memandangnya, “Berharaplah agar Allah memberikan rizqi kepadamu dapat melihat wajah-Nya yang mulia sebagaimana Dia telah memberi rizqi kepadamu dapat memandang Rumah-Nya yang agung. Bersyukurlah kepada-Nya karena Dia menyampaikanmu pada kedudukan ini dan menggabungkanmu dalam kelompok orang-orang yang mendatangi-Nya. Di saat itu ingatlah bagaimana manusia digiring pada hari Kiamat menuju surga, yang mana mereka terbagi-bagi ke dalam orang-orang yang diberikan izin untuk memasukinya dan orang-orang yang dipalingkan, sebagaimana terbagi-baginya para jama’ah haji menjadi orang-orang yang diterima dan yang ditolak hajinya. Dan teruslah mengingat perkara-perkara akhirat dalam segala yang dilihat, karena segala hal ihwal haji menunjukkan hal ihwal akhirat.
Kemudian ketika melaksanakan thawaf di Baitullah, hendaknya ingat bahwa thawaf adalah seperti shalat, sehingga hadirkanlah dalam qalbu keagungan Allah, rasa takut dan rasa harap kepada-Nya, dan seluruh perasaan cinta kepada-Nya. Dengan melaksanakan thawaf, jama’ah haji mirip para malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah dan mengelilingi seputar arasy.
Janganlah berpandangan bahwa thawaf adalah semata-mata mengelilingi Ka`bah dengan tubuh, melainkan thawaf juga dengan qalbu dan senantiasa ingat kepada Allah. Dengan demikian, kita memulai berpikir dan mengakhirinya karena Allah.
Ketika mencium Hajar Aswad, hendaknya yakin sedang menjalin sumpah kesetiaan dengan Allah dan akan mematuhi-Nya.”
Manakala kita telah rampung melaksanakan thawaf dan kemudian menuju Bukit Safa untuk melaksanakan sa`i, Al-Ghazali berpesan, “Laksanakanlah sa`i laksana bolak-baliknya seorang hamba di halaman istana seorang raja. Hamba itu datang dan pergi berkali-kali untuk menyatakan ketulusan pengabdiannya dan mendambakan perhatian dengan pandangan kasih sayang, laksana orang yang masuk dan keluar dalam menghadap seorang raja. Sedangkan ia tidak tahu apa yang akan ditetapkan sang raja terhadap dirinya, yakni diterimakah atau ditolak. Kalau gagal pada kali pertama, ia berharap meraih kasih sayang pada kali kedua.”
Al-Ghazali terus memberikan penjelasan filosofisnya yang mendalam dalam menggambarkan amalan-amalan zhahir haji, agar para jama’ah haji memiliki kedalaman-kedalaman dan rahasia-rahasia bathin, sebagaimana kita melihat hal itu dalam pembicaraannya tentang melontar jumrah. Ia mengatakan: Adapun mengenai melontar jumrah, maksudkanlah dengannya untuk patuh kepada perintah dan menunjukkan penghambaan dan perjalanan kita semata-mata karena menjalankan perintah. Kemudian tujukanlah dengannya mengikuti Nabi Ibrahim ketika dibujuk oleh iblis di tempat itu untuk melakukan maksiat lalu Allah menyuruhnya agar melemparnya dengan batu untuk mengusirnya dan memutuskan harapannya.
Seandainya terlintas pada benakmu bahwa setan membujuknya (Nabi Ibrahim) dan ia menyaksikannya sehingga ia pantas melemparnya sedangkan engkau tidak dibujuk oleh setan, ketahuilah bahwa pikiran ini berasal dari setan dan ia yang memasukkan di dalam hatimu untuk melemahkan niatmu dalam melontar dan membisikkan kepadamu bahwa itu suatu perbuatan yang tidak ada manfaatnya dan bahwa itu seperti permainan sehingga engkau tidak perlu menyibukkan diri dengannya, usirlah dia dari dirimu dengan sungguh-sungguh dan dengan sigap dalam melontarnya. Ketahuilah, pada lahirnya engkau melontar batu-batuan ke Aqabah, padahal pada hakikatnya engkau melontar dengan batu-batuan itu wajah setan dan menghancurkannya. Jadi, ia tidak dapat dikalahkan kecuali engkau melaksanakan perintah Allah sebagai pengagungan kepada-Nya dengan semata-mata mematuhi perintah-Nya tanpa memikirkan diri sendiri dan akal.
Apabila seseorang yang menunaikan haji mengunjungi kota Rasul, hendaklah ketika melihatnya ia ingat bahwa itulah kota yang Allah pilih untuk Nabi-Nya, yang Dia jadikan sebagai tempat hijrah beliau. Di sana beliau berjuang menghadapi musuhnya dan menampakkan agamanya sampai beliau wafat menghadap Allah. Kemudian Dia menjadikan jasadnya berada di sana. Begitu juga dengan jasad dua orang pembantunya yang menjalankan kebenaran, Abu Bakar dan Umar.
Hendaknya seorang yang berhaji membayangkankan dalam dirinya tempat-tempat pijakan kaki Rasulullah ketika berjalan di sana. Tidakkah setiap pijakan kaki melainkan merupakan tempat pijakan-pijakan kaki beliau yang mulia, sehingga seorang yang berhaji tidak meletakkan kakinya melainkan dengan tenang dan dengan khawatir, serta ingat bagaimana berjalannya Rasulullah dan ketenangannya dalam berjalan, juga mengingat bagaimana Allah memasukkan di dalam hati beliau ma’rifat yang agung kepada-Nya dan meninggikan sebutannya sehingga Dia menyertakannya dengan sebutan terhadap diri-Nya, dan bagaimana Allah akan memberikan hukuman kepada orang yang mencederai kehormatannya walaupun sekadar meninggikan suaranya di atas suara beliau. Hendaknya ia juga mengingat bagaimana Allah menggembirakan orang-orang yang menjadi sahabat beliau dengannya dan mereka berbahagia dapat menyaksikan beliau dan mendengar perkataannya.
Hendaknya ia merasa menyesal karena tidak dapat bersahabat dengan Rasulullah dan para sahabatnya. Hendaknya ia mengingat bahwa, setelah ia tidak dapat melihatnya di dunia, kesempatan untuk melihatnya di akhirat pun masih mengkhawatirkan (belum dapat dipastikan). Karena, buruknya amal seseorang dapat menghalanginya untuk berjumpa dengannya sebagaimana yang beliau katakan, “Allah mengangkat kepadaku beberapa kaum, lalu mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, wahai Muhammad.’
Lalu aku berkata, ‘Wahai Tuhan, mereka para sahabatku.’
Tuhan berkata, ‘Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan setelah engkau tiada.’
Maka aku katakan, ‘Menjauhlah mereka dariku’.”
Seandainya engkau tinggalkan kehormatan syari’atnya walau hanya semenit, janganlah engkau merasa aman bahwa engkau tak akan terhalang dari beliau karena penyimpanganmu dari jalannya. Walaupun demikian, besarkanlah harapanmu bahwa Allah tidak akan menghalangi antara engkau dan beliau setelah ia memberikan rizqi keimanan kepadamu dan memberangkatkanmu dari tanah airmu untuk menziarahi beliau tanpa niat untuk berdagang dan tanpa mengharapkan bagian dunia, melainkan semata-mata karena kecintaanmu kepada beliau dan kerinduanmu untuk melihat peninggalan-peninggalannya dan dinding makamnya. Apabila engkau menyerahkan dirimu dalam perjalanan semata-mata untuk itu, wajarlah jika Allah memandangmu dengan pandangan kasih sayang.
Rintihan Seorang Anak
Rintihan Seorang Anak.mp3
Lambaian Kasih : Rintihan Seorang Anak
BETAPA PERITNYA HIDUPKU
TANPA BELAIAN KASIH DAN SAYANGMU
SEJAK KECIL TIADA KURASAKAN
SENTUHAN JEJARIMU
KEMANA PERGINYA DIRIMU IBU
KAU MENGHILANGKAN DIRI DARIKU
TERBIAR SEPI JIWA KERDILKU
HILANGNYA IHSAN DIRIMU
APALAH SALAH DOSA DIRIKU
TERBUANG TANPA PEMBELAANMU
AKU AMANAH TIADA DISYUKURI
MEMBIARKU MENANGIS HIBA
BUKAN INTAN PERMATA YANG KUPINTA
HANYA SECEBIS KASIHMU
DILEMBAH SENJA TIADA KUMENGERTI
MENGAPA KAU SEKEJAM INI
KULALUI HIDUP TANPA KEHADIRANMU
IBU..KETAHUILAH SUARA OMBAK ITU ADALAH
TANGISANKU YANG BERLAGU DAN MENANTI KEPULANGAN MU IBU
KUMERINDUKAN SEPOHON KASIHMU
IBU KEMBALILAH KEPADAKU
SEMOGA SINAR HIDUPKU
KAN KEMBALI GEMILANG..
KUPANJATKAN DOA PADA-MU YA ALLAH
AMPUNILAH SEGALA DOSA IBU
SELAMATKANLAH DIA DARI AZAB-MU
BERILAH PETUNJUK PADANYA SELALU..
10 PerKara yAnG Sia-sia
Sufyan ats-Tsauri, seorang ulama hadis yang terkemuka, menyatakan
bahawa ada sepuluh hal yang termasuk dalam kategori sia-sia, iaitu:-
1.Laki-laki atau wanita yang berdoa untuk dirinya sendiri, tapi tidak dimohonkannya doa untuk ibu-bapanya sendiri dan kaum Muslimin.
2.Orang yang kerapkali membaca Al Quran, tapi tidak membaca secara tertib sampai seratus ayat tiap-tiap hari.
3.Laki-laki yang masuk ke dalam masjid, kemudian ia keluar kembali dari masjid itu tanpa mengerjakan shalat tahiyatul-masjid.
4.Orang-orang yang melewati tanah perkuburan, tapi tidak mengucapkan salam kepada penghuni-penghuni kubur dan tidak mendoakan untuk keselamatan arwah-arwah mereka.
5.Laki-laki yang masuk pada hari Jumaat ke suatu kota, kemudian ia keluar lagi dari kota itu tanpa mengerjakan shalat Jumaat berjemaah.
6.Laki-laki atau wanita yang tinggal di suatu lingkungan dengan seorang ulama, tapi dia tidak mempergunakan kesempatan itu untuk menambah ilmu pengetahuan.
7.Dua orang laki-laki yang bersahabat, tapi mereka tidak saling menanyakan tentang keadaan masing-masing dan keluarganya.
8.Laki-laki yang mengundang seseorang menjadi tetamunya, tapi tidak diacuhkan dan tidak dilayani tetamunya itu.
9.Pemuda yang menjadikan zaman mudanya berlalu begitu saja tanpa memanfaatkan waktu yang berharga itu untuk menuntut ilmu dan meningkatkan budi pekerti.
10.Orang yang tidak menyedari tetangganya yang merintih lantaran kelaparan, sedang ia sendiri makan kekenyangan di dalam rumahnya.
1.Laki-laki atau wanita yang berdoa untuk dirinya sendiri, tapi tidak dimohonkannya doa untuk ibu-bapanya sendiri dan kaum Muslimin.
2.Orang yang kerapkali membaca Al Quran, tapi tidak membaca secara tertib sampai seratus ayat tiap-tiap hari.
3.Laki-laki yang masuk ke dalam masjid, kemudian ia keluar kembali dari masjid itu tanpa mengerjakan shalat tahiyatul-masjid.
4.Orang-orang yang melewati tanah perkuburan, tapi tidak mengucapkan salam kepada penghuni-penghuni kubur dan tidak mendoakan untuk keselamatan arwah-arwah mereka.
5.Laki-laki yang masuk pada hari Jumaat ke suatu kota, kemudian ia keluar lagi dari kota itu tanpa mengerjakan shalat Jumaat berjemaah.
6.Laki-laki atau wanita yang tinggal di suatu lingkungan dengan seorang ulama, tapi dia tidak mempergunakan kesempatan itu untuk menambah ilmu pengetahuan.
7.Dua orang laki-laki yang bersahabat, tapi mereka tidak saling menanyakan tentang keadaan masing-masing dan keluarganya.
8.Laki-laki yang mengundang seseorang menjadi tetamunya, tapi tidak diacuhkan dan tidak dilayani tetamunya itu.
9.Pemuda yang menjadikan zaman mudanya berlalu begitu saja tanpa memanfaatkan waktu yang berharga itu untuk menuntut ilmu dan meningkatkan budi pekerti.
10.Orang yang tidak menyedari tetangganya yang merintih lantaran kelaparan, sedang ia sendiri makan kekenyangan di dalam rumahnya.
Pakej Kematian
Terdapat satu senarai pakej kematian yang sangat mulia
iaitu husnul khatimah atau mati syahid terutama di senarai yang ke lapan
dan kesembilan dalam tulisan ini.
Pertama: Mereka yang dapat mengucapkan syahadah menjelang kematian sebagaimana ditunjukkan dalam banyak hadis sahih, antaranya Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: “(Barang siapa yang ucapan terakhirnya Laa ilaaha illallah maka dia masuk syurga).” (Hadis Hasan)
Kedua: Kematian yang disertai dengan basahnya kening dengan keringat atau peluh berdasarkan hadis Buraidah bin Hushaib r.a: Dari Buraidah bin Khusaib r.a (bahawa ketika dia berada di Khurasan sedang membesuk seorang sahabatnya yang sakit dia mendapatinya sudah meninggal tiba-tiba keningnya berkeringat maka dia berkata: Allahu Akbar, aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Kematian seorang mukmin disertai keringat di keningnya). (Hadis Sahih)
Ketiga: Mereka yang (baik-baik dan soleh) meninggal dunia pada malam Jumaat atau siangnya berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w (tidaklah seorang Muslim yang meninggal pada hari Jumaat atau malam Jumaat melainkan Allah melindunginya daripada seksa kubur).
Keempat: Meninggal dalam keadaan syahid di medan perang sebagaimana ertinya: (Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahawa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah mati, tetapi mereka hidup diberi rezeki di sisi Tuhan mereka. Mereka bergembira dengan kurnia yang diberikan Allah kepada mereka dan memberi khabar gembira kepada orang yang belum mengikuti mereka di belakang janganlah mereka takut dan sedih. Mereka memberi khabar gembira dengan kenikmatan dari Allah dan kurnia-Nya dan bahawa Allah tidak mensia-siakan balasan bagi orang-orang beriman). (Surah Ali Imran ayat 169-171)
Rasulullah s.a.w bersabda: “(Orang yang syahid mendapat kan enam perkara: Diampuni dosanya sejak titisan darahnya yang pertama, diperlihatkan tempatnya dalam syurga, dijauhkan dari seksa kubur, diberi keamanan dari goncangan yang dahsyat di hari kiamat, dipakaikan mahkota keimanan, dinikahkan dengan bidadari syurga, diizinkan memberi syafaat bagi tujuh puluh anggota keluarganya.”
Kelima: Mereka yang meninggal ketika berjuang di jalan Allah (bukan terbunuh) berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w: “(Apa yang kalian nilai sebagai syahid antara kalian? Mereka berkata: Ya Rasulullah siapa yang terbunuh di jalan Allah maka dia syahid. Beliau berkata: (Jadi sesungguhnya syuhada’ umatku sedikit ). Mereka berkata: Lalu siapa mereka Ya Rasulullah?
Baginda berkata: (Barang siapa yang terbunuh di jalan Allah syahid, barang siapa yang mati di jalan Allah syahid, barang siapa yang mati kerana wabak taun syahid, barang siapa yang mati kerana penyakit perut syahid dan orang yang tenggelam syahid).”
Keenam: Mati kerana satu wabak penyakit taun berdasarkan beberapa hadis antaranya: Rasulullah s.a.w bersabda: (Wabak taun adalah kesyahidan bagi setiap Muslim).
Ketujuh: Mereka yang mati kerana penyakit dalam perut berdasarkan hadis di atas.
Kelapan dan kesembilan: Mereka yang mati kerana teng gelam dan terkena runtuhan berdasarkan sabda Nabi s.a.w yang bermaksud: (Syuhada ada lima: yang mati kerana wabak taun, kerana penyakit perut, yang tenggelam, yang terkena runtuhan dan yang syahid di jalan Allah).
Kesepuluh: Mereka yang matinya seorang wanita dalam nifasnya disebabkan melahirkan anaknya: Dari Ubadah bin Shamit r. a bahawa Rasulullah s.a.w menjenguk Abdullah bin Rawahah dan berkata: Beliau tidak berpindah dari tempat tidurnya lalu berkata: Tahukah kamu siapa syuhada’ dari umatku? Mereka berkata: Terbunuhnya seorang Muslim adalah syahid. Beliau berkata: (Jadi sesungguhnya para syuhada’ umatku, terbunuhnya seorang Muslim syahid, mati kerana wabak taun syahid, wanita yang mati kerana janinnya syahid (ditarik oleh anaknya dengan tali arinya ke syurga).
Kesebelas dan kedua belas: Mereka yang mati kerana terbakar dan sakit bengkak panas yang menimpa selaput dada di tulang rusuk, ada beberapa hadis yang terkait yang paling masyhur: Dari Jabir bin ‘Atik dengan sanad marfu’: (Syuhada’ ada tujuh selain terbunuh di jalan Allah: yang mati kerana wabak tha’un syahid, yang tenggelam syahid, yang mati kerana sakit bengkak yang panas pada selaput dada syahid, yang sakit perut syahid, yang mati terbakar syahid, yang mati terkena runtuhan syahid, dan wanita yang mati setelah melahirkan syahid).
Ketiga belas: Mereka yang mati kerana sakit TB berdasarkan hadis: Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Terbunuh di jalan Allah syahid, wanita yang mati kerana melahirkan syahid, orang yang terbakar syahid, orang yang tenggelam syahid, dan yang mati kerana sakit TB syahid, yang mati kerana sakit perut syahid). (Hadis Hasan)
Keempat belas: Mereka yang mati kerana mempertahankan hartanya yang hendak dirampas. Dalam hal itu ada beberapa hadis di antaranya: Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Barang siapa yang terbunuh kerana hartanya (dalam riwayat: barang siapa yang hartanya diambil tidak dengan alasan yang benar lalu dia mempertahankannya dan terbunuh) maka dia syahid).
Kelima belas dan keenam belas: Mereka yang mati kerana mempertahankan agama dan dirinya: Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Barang siapa yang terbunuh kerana hartanya syahid, barang siapa yang terbunuh kerana keluarganya syahid, barang siapa yang terbunuh kerana agamanya syahid, barang siapa yang terbunuh kerana darahnya syahid).
Ketujuh belas: Mereka yang mati dalam keadaan ribath (berjaga di perbatasan)
di jalan Allah. Ada dua hadis dalam hal itu salah satunya: Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Ribath sehari semalam lebih baik dari berpuasa dan qiyamul lail selama sebulan, dan jika mati maka akan dijalankan untuknya amalan yang biasa dikerjakannya, akan dijalankan rezekinya dan di amankan dari fitnah).
Kelapan belas: Mati ketika melakukan amal soleh berdasarkan hadis Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Barang siapa yang mengucapkan: Laa ilaaha illallah mengharapkan wajah Allah lalu wafat setelah mengucapkannya maka dia masuk syurga, barang siapa berpuasa satu hari mengharapkan wajah Allah lalu wafat ketika mengerjakannya maka dia masuk syurga, barang siapa yang bersedekah dengan satu sedekah meng harapkan wajah Allah lalu wafat ketika mengerjakannya maka dia masuk syurga).
Kesembilan belas: Mereka yang dibunuh oleh penguasa yang zalim kerana memberi nasihat kepadanya: Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Penghulu para Syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Mutalib dan seseorang yang mendatangi penguasa yang zalim lalu dia memerintahkan yang baik dan melarang dari yang mungkar lalu dia dibunuh nya) Hadis dikeluarkan oleh Al-Hakim dan disahihkannya dan Al Khatib.
Sama-samalah kita berdoa agar kita sama termasuk dalam senarai di atas. Amin Ya Rabbal ‘aalamin
Pertama: Mereka yang dapat mengucapkan syahadah menjelang kematian sebagaimana ditunjukkan dalam banyak hadis sahih, antaranya Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: “(Barang siapa yang ucapan terakhirnya Laa ilaaha illallah maka dia masuk syurga).” (Hadis Hasan)
Kedua: Kematian yang disertai dengan basahnya kening dengan keringat atau peluh berdasarkan hadis Buraidah bin Hushaib r.a: Dari Buraidah bin Khusaib r.a (bahawa ketika dia berada di Khurasan sedang membesuk seorang sahabatnya yang sakit dia mendapatinya sudah meninggal tiba-tiba keningnya berkeringat maka dia berkata: Allahu Akbar, aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Kematian seorang mukmin disertai keringat di keningnya). (Hadis Sahih)
Ketiga: Mereka yang (baik-baik dan soleh) meninggal dunia pada malam Jumaat atau siangnya berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w (tidaklah seorang Muslim yang meninggal pada hari Jumaat atau malam Jumaat melainkan Allah melindunginya daripada seksa kubur).
Keempat: Meninggal dalam keadaan syahid di medan perang sebagaimana ertinya: (Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahawa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah mati, tetapi mereka hidup diberi rezeki di sisi Tuhan mereka. Mereka bergembira dengan kurnia yang diberikan Allah kepada mereka dan memberi khabar gembira kepada orang yang belum mengikuti mereka di belakang janganlah mereka takut dan sedih. Mereka memberi khabar gembira dengan kenikmatan dari Allah dan kurnia-Nya dan bahawa Allah tidak mensia-siakan balasan bagi orang-orang beriman). (Surah Ali Imran ayat 169-171)
Rasulullah s.a.w bersabda: “(Orang yang syahid mendapat kan enam perkara: Diampuni dosanya sejak titisan darahnya yang pertama, diperlihatkan tempatnya dalam syurga, dijauhkan dari seksa kubur, diberi keamanan dari goncangan yang dahsyat di hari kiamat, dipakaikan mahkota keimanan, dinikahkan dengan bidadari syurga, diizinkan memberi syafaat bagi tujuh puluh anggota keluarganya.”
Kelima: Mereka yang meninggal ketika berjuang di jalan Allah (bukan terbunuh) berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w: “(Apa yang kalian nilai sebagai syahid antara kalian? Mereka berkata: Ya Rasulullah siapa yang terbunuh di jalan Allah maka dia syahid. Beliau berkata: (Jadi sesungguhnya syuhada’ umatku sedikit ). Mereka berkata: Lalu siapa mereka Ya Rasulullah?
Baginda berkata: (Barang siapa yang terbunuh di jalan Allah syahid, barang siapa yang mati di jalan Allah syahid, barang siapa yang mati kerana wabak taun syahid, barang siapa yang mati kerana penyakit perut syahid dan orang yang tenggelam syahid).”
Keenam: Mati kerana satu wabak penyakit taun berdasarkan beberapa hadis antaranya: Rasulullah s.a.w bersabda: (Wabak taun adalah kesyahidan bagi setiap Muslim).
Ketujuh: Mereka yang mati kerana penyakit dalam perut berdasarkan hadis di atas.
Kelapan dan kesembilan: Mereka yang mati kerana teng gelam dan terkena runtuhan berdasarkan sabda Nabi s.a.w yang bermaksud: (Syuhada ada lima: yang mati kerana wabak taun, kerana penyakit perut, yang tenggelam, yang terkena runtuhan dan yang syahid di jalan Allah).
Kesepuluh: Mereka yang matinya seorang wanita dalam nifasnya disebabkan melahirkan anaknya: Dari Ubadah bin Shamit r. a bahawa Rasulullah s.a.w menjenguk Abdullah bin Rawahah dan berkata: Beliau tidak berpindah dari tempat tidurnya lalu berkata: Tahukah kamu siapa syuhada’ dari umatku? Mereka berkata: Terbunuhnya seorang Muslim adalah syahid. Beliau berkata: (Jadi sesungguhnya para syuhada’ umatku, terbunuhnya seorang Muslim syahid, mati kerana wabak taun syahid, wanita yang mati kerana janinnya syahid (ditarik oleh anaknya dengan tali arinya ke syurga).
Kesebelas dan kedua belas: Mereka yang mati kerana terbakar dan sakit bengkak panas yang menimpa selaput dada di tulang rusuk, ada beberapa hadis yang terkait yang paling masyhur: Dari Jabir bin ‘Atik dengan sanad marfu’: (Syuhada’ ada tujuh selain terbunuh di jalan Allah: yang mati kerana wabak tha’un syahid, yang tenggelam syahid, yang mati kerana sakit bengkak yang panas pada selaput dada syahid, yang sakit perut syahid, yang mati terbakar syahid, yang mati terkena runtuhan syahid, dan wanita yang mati setelah melahirkan syahid).
Ketiga belas: Mereka yang mati kerana sakit TB berdasarkan hadis: Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Terbunuh di jalan Allah syahid, wanita yang mati kerana melahirkan syahid, orang yang terbakar syahid, orang yang tenggelam syahid, dan yang mati kerana sakit TB syahid, yang mati kerana sakit perut syahid). (Hadis Hasan)
Keempat belas: Mereka yang mati kerana mempertahankan hartanya yang hendak dirampas. Dalam hal itu ada beberapa hadis di antaranya: Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Barang siapa yang terbunuh kerana hartanya (dalam riwayat: barang siapa yang hartanya diambil tidak dengan alasan yang benar lalu dia mempertahankannya dan terbunuh) maka dia syahid).
Kelima belas dan keenam belas: Mereka yang mati kerana mempertahankan agama dan dirinya: Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Barang siapa yang terbunuh kerana hartanya syahid, barang siapa yang terbunuh kerana keluarganya syahid, barang siapa yang terbunuh kerana agamanya syahid, barang siapa yang terbunuh kerana darahnya syahid).
Ketujuh belas: Mereka yang mati dalam keadaan ribath (berjaga di perbatasan)
di jalan Allah. Ada dua hadis dalam hal itu salah satunya: Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Ribath sehari semalam lebih baik dari berpuasa dan qiyamul lail selama sebulan, dan jika mati maka akan dijalankan untuknya amalan yang biasa dikerjakannya, akan dijalankan rezekinya dan di amankan dari fitnah).
Kelapan belas: Mati ketika melakukan amal soleh berdasarkan hadis Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Barang siapa yang mengucapkan: Laa ilaaha illallah mengharapkan wajah Allah lalu wafat setelah mengucapkannya maka dia masuk syurga, barang siapa berpuasa satu hari mengharapkan wajah Allah lalu wafat ketika mengerjakannya maka dia masuk syurga, barang siapa yang bersedekah dengan satu sedekah meng harapkan wajah Allah lalu wafat ketika mengerjakannya maka dia masuk syurga).
Kesembilan belas: Mereka yang dibunuh oleh penguasa yang zalim kerana memberi nasihat kepadanya: Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: (Penghulu para Syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Mutalib dan seseorang yang mendatangi penguasa yang zalim lalu dia memerintahkan yang baik dan melarang dari yang mungkar lalu dia dibunuh nya) Hadis dikeluarkan oleh Al-Hakim dan disahihkannya dan Al Khatib.
Sama-samalah kita berdoa agar kita sama termasuk dalam senarai di atas. Amin Ya Rabbal ‘aalamin
Doa & Istighfar Selepas Solat
Ada orang-orang yang langsung berdiri
dan meninggalkan tempat sholat tanpa berdoa atau beristighfar terlebih
dahulu. Sedangkan istighfar menurut beliau adalah yang paling minimal.
Waktu setelah sholat fardhu adalah termasuk saat-saat dimana doa paling di kabulkan.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “di riwayatkan dari Abu Umamah ra bahwa Rasul saw pernah di tanya oleh seorang laki-laki: ‘doa apakah yang paling di kabukan oleh Allah swt?’, jawab Rasul saw: “Doa di tengah malam dan setelah sholat-sholat fardhu.”(HR.Tirmidzi).
Doa-doa setelah sholat sangat banyak yang teriwayatkan dari Nabi saw dan membawa faedah yang sangat besar. Sebagai contoh adalah hadits Nabi saw berikut ini: “Barangsiapa yang setelah sholatnya membaca Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahu akbar 33 kali, lalu di genapkan menjadi 100 kali dengan membaca Laa Ilaha Illa Allahu Wahdahu Laa Syarika Lahu, Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Yuhyi Wa Yumiitu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai in Qadir
(Tiada Tuhan selain Allah swt semata, tiada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan dan pujian, Dialah yang menghidupkan dan mematikan dan Dialah yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu) maka d ampuni dosanya walau sebanyak buih di lautan.”(HR.Imam Muslim).
Termasuk doa-doa yang tidak pernah di tinggalkan oleh Nabi saw setelah solatnya adalah doa: ”Wahai Allah Engkaulah yang Maha Melimpahkan kesejahteraan,dan dariMu lah terlimpah segala kesejahteraan dan padaMu lah kembali semua kesejahteraan. Maha Berkah Engkau lagi Maha Mulia.” (HR. Imam Muslim).
Dalam nasihatnya di atas, beliau berkata bahwa minimal dari zikir sesudah sholat tersebut adalah istighfar. Rasulullah saw bersabda: “Demi Allah swt! Aku memohon ampunan Allah swt dan bertobat kepadaNya lebih dari 70 kali sehari.”(HR.Bukhari). Sebagian ulama berkata bahwa istighfar dapat membuka pintu rezeki dan banyak manfaat lain. Mengenai membaca al-Qur’an akan di bahas pada catatan tersendiri.
Wirid adalah zikir yang di amalkan pada waktu-waktu tertentu dan untuk suatu keperluan. Berbeda dengan zikir secara umum yang tidak terikat waktu. Bacaan setelah sholat adalah termasuk dari wirid karena di baca pada waktu tertentu, yaitu setelah sholat. Karena ada dari bacaan-bacaan tersebut yang tidak berlaku faedahnya di luar sholat sebagaimana yang hadits yang telah di sebutkan di atas.
Dan cukuplah kita mengetahui kemuliaan wirid ini,dan sekaligus menutup penjelasan ini,adalah bahwa al-Imam Abdurrahman bin Muhammad Assegaf berkata: “Barangsiapa yang tidak mempunyai wirid, maka tidak ubahnya ia seperti kera .” Wallahu a’lam.
Waktu setelah sholat fardhu adalah termasuk saat-saat dimana doa paling di kabulkan.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “di riwayatkan dari Abu Umamah ra bahwa Rasul saw pernah di tanya oleh seorang laki-laki: ‘doa apakah yang paling di kabukan oleh Allah swt?’, jawab Rasul saw: “Doa di tengah malam dan setelah sholat-sholat fardhu.”(HR.Tirmidzi).
Doa-doa setelah sholat sangat banyak yang teriwayatkan dari Nabi saw dan membawa faedah yang sangat besar. Sebagai contoh adalah hadits Nabi saw berikut ini: “Barangsiapa yang setelah sholatnya membaca Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahu akbar 33 kali, lalu di genapkan menjadi 100 kali dengan membaca Laa Ilaha Illa Allahu Wahdahu Laa Syarika Lahu, Lahu al-Mulku Wa Lahu al-Hamdu Yuhyi Wa Yumiitu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai in Qadir
(Tiada Tuhan selain Allah swt semata, tiada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan dan pujian, Dialah yang menghidupkan dan mematikan dan Dialah yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu) maka d ampuni dosanya walau sebanyak buih di lautan.”(HR.Imam Muslim).
Termasuk doa-doa yang tidak pernah di tinggalkan oleh Nabi saw setelah solatnya adalah doa: ”Wahai Allah Engkaulah yang Maha Melimpahkan kesejahteraan,dan dariMu lah terlimpah segala kesejahteraan dan padaMu lah kembali semua kesejahteraan. Maha Berkah Engkau lagi Maha Mulia.” (HR. Imam Muslim).
Dalam nasihatnya di atas, beliau berkata bahwa minimal dari zikir sesudah sholat tersebut adalah istighfar. Rasulullah saw bersabda: “Demi Allah swt! Aku memohon ampunan Allah swt dan bertobat kepadaNya lebih dari 70 kali sehari.”(HR.Bukhari). Sebagian ulama berkata bahwa istighfar dapat membuka pintu rezeki dan banyak manfaat lain. Mengenai membaca al-Qur’an akan di bahas pada catatan tersendiri.
Wirid adalah zikir yang di amalkan pada waktu-waktu tertentu dan untuk suatu keperluan. Berbeda dengan zikir secara umum yang tidak terikat waktu. Bacaan setelah sholat adalah termasuk dari wirid karena di baca pada waktu tertentu, yaitu setelah sholat. Karena ada dari bacaan-bacaan tersebut yang tidak berlaku faedahnya di luar sholat sebagaimana yang hadits yang telah di sebutkan di atas.
Dan cukuplah kita mengetahui kemuliaan wirid ini,dan sekaligus menutup penjelasan ini,adalah bahwa al-Imam Abdurrahman bin Muhammad Assegaf berkata: “Barangsiapa yang tidak mempunyai wirid, maka tidak ubahnya ia seperti kera .” Wallahu a’lam.
Subscribe to:
Posts (Atom)